Monday, May 28, 2007

Where do we go from here

Pemikiran ini setidaknya muncul kembali sejak email yang saya terima dari Ibu beberapa hari yang lalu. Lama sebelumnya pemikiran tentang kemana saya akan pergi setelah lulus kuliah memang menemani (kalau tidak menghantui) banyak waktu luang.

Apabila diulang kembali, kurang lebih pertanyaan itu seperti ini:
Industri apa yang pantas dimasuki sebagai pijakan untuk mulai berkarya nanti?

Atau sebenarnya ada pertanyaan yang lebih mendasar yang berbunyi seperti ini:
Mau jadi apa habis lulus, bung?

Tapi sebenarnya ada pertanyaan yang lebih baik lagi untuk ditanyakan:
Mulai berkarya? Setelah lulus? Kenapa nanti? Memang harus lulus dulu baru mulai berkarya? Tidak.

Dan (using the power of AND, not the tyranny of OR), saya juga punya kesadaran untuk memenuhi harapan orangtua untuk 'berkarya' sebaik-baiknya di bangku kuliah. Karya yang ditunggu itu berwujud angka. IPK tepatnya. Saya masih yakin ini lah parameter paling valid yang digunakan mereka untuk mengetahui apakah saya berbuat yang terbaik di kampus. Di Bandung, dengan biaya besar yang mereka kucurkan setiap waktunya. Tapi sudahlah, pembahasan lebih lanjut tentang itu akan bertransformasi menjadi sebuah excuse yang terlalu kuat untuk memiliki satu fokus saja selama di bangku kuliah. Akademik. Saya tidak pro hal ini. Cenderung kontra.

Jadi kita mulai saja bahasan yang aktualnya.

Pertanyaan pertama tadi mulai mendapat arah jawabannya. Email itu berasal dari sebuah sumber di Amerika Serikat, yang menceritakan kepada Ibu bahwa baru saja Konsulat Jenderal RI di Houston, TX mengundang para engineer dan calon engineer di bidang Petroleum dan Energi untuk berkumpul. Undangan itu mendadak. Topik yang mereka bicarakan, dilaporkan, mengenai kebutuhan negeri ini akan tenaga ahli di bidang energi dan perminyakan. Diperkirakan dalam tahun-tahun ke depan Indonesia melalui BP Migas nya akan melakukan 'sesuatu' yang besar dengan industri ini. Dan sekarang tenaga ahli yang dibutuhkan masih sangat minim jumlahnya.

Jadi inilah industri yang penting untuk kita masuki sebagai profesional? Bukankah industri energi sedang bergerak ke arah sumber lain yang renewable, energi alternatif?

Mengapa kita masih tertarik dengan industri yang sedang ditinggalkan ini?

Saya pernah berbincang dengan Bapak beberapa waktu lalu mengenai industri ini. Waktu itu saya menanyakan mengapa Indonesia tidak bisa menangani semua eksplorasi hasil perut buminya sendiri. Bukankah engineer seperti Bapak ini sudah banyak jumlahnya di Indonesia? Dari perbincangan yang sempat bercabang kemana-mana itu saya masih ingat beberapa poin yang berkaitan langsung dengan pertanyaan saya tadi.

Upaya eksplorasi hasil perut bumi memang tidak sesederhana lulus dari TM-ITB, punya uang, lalu bikin perusahaan minyak yang bisa tender supply peralatan dan perlengkapan pendukungnya (setelah menemukan lokasi yang potensial untuk di-eksplore). Untuk menemukan titik-titik yang potensial, perlu knowledge dan experience, selain pastinya science. Selain itu, se-advance apapun experience dan accumulated knowledge yang dimiliki perusahaan rakasasa minyak itu, ternyata, tidak setiap titik yang ditunjuk oleh para ahli itu berubah wujud menjadi sebuah sumur minyak yang produktif. Kalau diprediksi bisa produksi seratus juta barrel per hari selama 25 tahun, misalnya, bisa saja ternyata produksi nya drop menjadi 5 juta barrel pada tahun kedua, dan berhenti pada tahun kelima. Dan hal ini sudah biasa terjadi di dunia eksplorasi.

Padahal, investasi yang dikucurkan untuk melakukan penelitian dan pemilihan titik-titik itu saja baru bisa break-even setelah rate produksi 100 juta barrel per hari itu berjalan selama 5 tahun, misalnya. Ini semua angka yang disederhanakan, tentunya. Tetapi ini cukup menggambarkan mengapa mereka menyebut ini bisnis yang high-tech, high-cost, dan high-risk--memang high-gain juga.

Untuk memperbesar kemungkinan mendapatkan sumur yang produktif, para raksasa minyak itu biasanya mengambil beberapa titik sekaligus yang diyakini oleh tim ahli memiliki potensi. Dari titik-titik itu, mereka berharap ada satu-dua atau bahkan tiga yang menjadi produktif dan menghasilkan keuntungan. Memang ini industri yang padat modal, teknologi, dan resiko.

Teknologi nya sendiri juga padat resiko. Dari kuliah PO saya ingat, teknologi juga menentukan-- bahkan dominan--dalam menentukan perancangan organisasi. Dan untuk mengendalikan resiko ini diperlukan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh perusahaan raksasa itu selama puluhan tahun. Organisasi yang mereka kembangkan telah mencapai sebuah level kehati-hatian dan disiplin sangat tinggi, tentunya ini hanya dapat tercapai dengan manajemen yang matang,
secara struktur maupun secara substansi.

Salah satu akibat ketidakmatangan organisasi dalam menjalankan operasi di industri padat modal, teknologi, dan resiko ini terdapat di depan mata kita setiap hari; Lumpur Lapindo. Kasus ini jelas diakibatkan ketidakmatangan organisasi dalam mengelola operasi dan resiko-resiko operasionalnya, selain juga menggambarkan kurangnya pengalaman para pimpinannya dalam mengelola keseluruhan teknologi, modal, dan sumberdaya insaninya. Industri ini ternyata juga padat-komitmen ya, terbukti.

Kalau kita boleh menyimpulkan secara buru-buru, masih banyak yang perlu dibenahi untuk dapat menguasai indutri energi di bumi sendiri ini. Dan hal inilah yang sangat mungkin kita lakukan. Berbenah di banyak hal. Tentu saja dengan komitmen pemerintah dan rakyat yang lebih tinggi untuk mengembangkan segala hal yang dibutuhkan untuk menguasai industri energi ini. Terutama dalam pengembangan sumberdaya insani nya.

Jadi apabila kita memilih indutri ini sebagai satu pijakan untuk berkarya, tentu merupakan suatu keputusan yang bagus. Kita menjadi bagian dari sebuah gerakan nasionalisasi industri energi negeri ini. Lalu bagaimana dengan gerakan meninggalkan industri ini ke arah energi alternatif? Renewable energy?

Some wild thoughts have crossed my mind.

Energy alternatif, dalam skala besar, memang memasuki pasar. Lalu apakah dengan demikian hal ini akan membuat para raksasa ini mati seketika? Tentu tidak. Bisnis sudah berkembang begitu lama, dan para pemain kawakan pasti sudah punya rencana. Bisnis ini tidak akan mati seketika. Sangat mungkin, sekali lagi saya bilang ini pemikiran liar saja, pemain di industri energi ini akan tetap bermain di industri energi, mengingat inersia modal dan teknologi yang sangat besar yang mereka miliki. Yang mungkin mereka lakukan adalah memodifikasi bisnis mereka perlahan-lahan, sehingga menjadi bisnis energi yang sepenuhnya baru pada waktunya nanti.

Energi alternatif perlu modal (dan teknologi) riset dan pengembangan yang luar biasa besarnya, dan itu belum termasuk biaya pemasarannya. Para raksasa minyak dan gas alam ini memiliki semuanya. Dengan kata lain, apabila mereka mau, merekalah yang mampu. Mereka lah yang bisa mengubah industri energi ini dari petro-based menjadi bio-based, misalnya.
Tapi pertanyaanya sekarang, apakah benar mereka punya kemauan itu?

Kemauan untuk berubah itu kita yang punya. Dan mungkin sekali kita lah yang akan memimpinnya kelak (atau sekarang). Jadi, mau terjun ke industri energi dan membawanya ke arah yang lebih baik?

Labels: ,

10 Comments:

Blogger Batari Saraswati said...

bin, i'm wondering, berapa lama waktu yang lo butuhkan untuk menulis posting sepanjang ini?

*so, where will you go? sukses ya.

May 31, 2007 3:52 PM  
Blogger Dian Amelina said...

bin..numpang lewat..hehe..dian link yah blognya.. ;p

June 15, 2007 2:04 PM  
Anonymous Anonymous said...

iya bat, gue sepakat sama lo. :)
keep update bin!

June 18, 2007 6:27 PM  
Blogger Floresiana Yasmin said...

bin, kalo tulisan ini lo bikin dalam waktu 10 menit doang, gue bakal calonin lo jadi presiden indonesia deh.
hehe.

"Tentu saja dengan komitmen pemerintah dan rakyat yang lebih tinggi untuk mengembangkan segala hal yang dibutuhkan untuk menguasai industri energi ini. Terutama dalam pengembangan sumberdaya insani nya."

banyak sih orang pinter di indonesia. tapi yang pinter dan mampu mungkin malah prefer pindah ke luar negeri atau kerja untuk negara lain. ga salah juga sih. fasilitas yang ditawarkan di sana mungkin lebih baik.

memang menurut lo apa yang bisa bikin orang-orang cerdas ini mau melupakan ambisi pribadinya demi membangun industri energi ?
hehe.. ini bukan retorika lho..

July 11, 2007 3:08 PM  
Anonymous Anonymous said...

and you've been tagged. click here for details..

July 16, 2007 10:07 PM  
Blogger aLia_noZa said...

bos,pikiran2 kaya gini kenapa ga dikirim ke majalah aja si?such waste kalo cuma di blog,banyak yang "kesodok" lo..
hmm,i know where i want to would go,but can i?hehehe.. itu poinnya.

July 27, 2007 11:33 AM  
Anonymous Anonymous said...

mau ngebenerin bangsa ini??

selama yang jadi pemerintah niat dan ngelaksanain niatnya.. harusnya bisa.. dan itu bisa dimulai dari ngebenerin permasalahan pendidikan..

August 01, 2007 1:53 AM  
Blogger Yessi Pratiwi Surya Budhi said...

panjang banget tulisan blog lo Bin. Grand design IECOM nya tetep update juga duuuunk.. :)

August 02, 2007 1:33 PM  
Anonymous Anonymous said...

bin bin..basi gak yah klo gw baru ngomentarin postingan lo sekarang? hehe,,baru tau klo bung bin ternyata punya blog dengan postingan yg sangat menarik ini. mo comment ya bin!!

sebagai org yg mengerjakan KP, TA, dan skrg bekerja di perusahaan minyak raksasa gw udah sempet berpikir hal yg sama ama lo. Dan sebenarnya ada banyak hal lain yg lebih seru dan menggigit di balik bisnis petrodollar ini. Tapi, untuk menjawab pertanyaan bung bin soal apakah perusahaan2 itu memiliki niat utk memasuki bisnis renewable energy? jawabannya adalah iya.
Dua perusahaan yg gw tau sudah mulai memikirkan hal tsb ialah BP & Total. Bung Bin boleh cek d website mereka dan disana bung bin akan menemukan bahwa mereka sudah mulai melaksanakan usaha-usaha utk menuju ke arah sana.

mengenai pertanyaan apakah bisnis petrodollar ini akan bertahan? jawabannya ialah iya. kenapa? meskipun isu global warming sudah mendorong begitu banyak orang utk melakukan research tng renewable energy, terutama yg berasal dr bahan pangan, masih banyak pula pertanyaan yg harus dijawab oleh para researcher itu. sampai saat ini belum ada bahan bakar pengganti yg production cost nya lebih rendah atau bahkan sama dengan harga minyak, meskipun dengan tingkat emisi gas buang yg lebih rendah sehingga orang akan tetap memilih bahan bakar minyak (silakan baca National Geographic Magazine US ed October 2007). hal ini lah yg menyebabkan industri minyak dan gas akan tetap bertahan sampai ditemukan metode produksi dengan ongkos yg sebanding. dan ini mungkin membutuhkan waktu puluhan tahun..

demikian komentar dari saya. maap klo kepanjangan yah, seru seh!!hehe..

November 11, 2007 5:09 PM  
Anonymous Anonymous said...

PERTAMINA aja belum becus, gimana mau beralih ke biodiesel? Gimana mau beralih ke fuel-cells? Gimana mau beralih ke Solar Cells?

Harus mulai dari mana? Jawabnya: BASIC RESEARCH ... Liat negara-negara dengan teknologi maju. Mereka kasih kebijakan khusus tentang basic science research.

Lha? BUMN kita? Yang dipikirin cuma GIMANA SUPAYA UANG CEPAT DATANG.

Yuk ... Mulai dari diri kita sendiri ... :-)

March 02, 2008 11:55 PM  

Post a Comment

<< Home