Tuesday, January 15, 2008

3rd IECOM

Keluarga Mahasiswa Teknik Industri ITB (MTI ITB) kembali mengadakan sebuah acara kompetisi keprofesian yang berskala nasional. Kompetisi ini merupakan sebuah wujud pencarian sosok sarjana Teknik Industri ideal yang dilakukan oleh MTI.

Di kompetisi ini, ratusan mahasiswa teknik industri dari berbagai universitas berkompetisi untuk mendapatkan gelar yang terbaik di antara mereka. Bagi MTI, gelar yang terbaik ini tidak cukup diwujudkan dengan sebuah ide yang unggul, tetapi juga diwujudkan dengan keberpihakan pada masyarakat dan keinginan yang tinggi untuk berkontribusi. Karena itulah pada IECOM kali ini, berbeda dari tahun sebelumnya, para finalis yang notabene adalah mahasiswa TI terbaik di Indonesia, diajak untuk terjun langsung ke usaha menengah yang sedang berkembang.

Dengan berada langsung di sebuah usaha menengah dengan segala permasalahannya, diharapkan seorang calon sarjana TI memiliki pengalaman mengenali karakter organisasi yang merupakan salah satu tulang punggung perekonomian negaranya. Selama belajar di kelas, mungkin saja para mahasiswa belajar banyak keilmuan teknik industri dengan berbagai model yang sebagian besar diimpor. Di IECOM, mereka akan mengukur sendiri seberapa banyak ilmu yang mereka miliki bisa membantu menyelesaikan permasalahan yang dialami perusahaan start-ups di Indonesia secara real.

Pemilik PT Taka Machinery Indonesia (TMI) Ir. Denni Andri, mendukung penuh ide kompetisi ini. Sebagai founder & CEO TMI yang bergerak di bidang turbine and pump services, beliau mengharapkan IECOM dapat memberikan masukan dalam upaya mengembangkan usahanya. Usaha yang dirintisnya sejak tahun 1997 ini sekarang memiliki 77 orang karyawan dan akan pindah ke pabrik yang lebih besar.

Beberapa perubahan lain juga terjadi di IECOM kali ini. Untuk menjaring peserta yang lebih luas, pendaftaran dilakukan secara online melalui web. Terbukti, 62 tim @ 4 orang dari 15 universitas di Indonesia terdaftar sebagai peserta. Dengan sebuah seleksi online yang dilakukan secara real-time di website resmi IECOM, tersaringlah 20 tim terbaik dari 12 universitas yang akan mengikuti putaran final di Kampus ITB.

Di kampus ITB, peserta akan mengikuti Seminar Sehari bertema Corporate Competitiveness, dan mengikuti dua hari penyisihan untuk menghasilkan 5 tim finalis. Di penyisihan yang terdiri atas dua tahap itu, peserta akan menjalani tes tertulis dan sebuah game pengambilan keputusan. Diharapkan game pengambilan keputusan ini menjadi sebuah warna baru di IECOM, yang menguji peserta untuk membuat strategi dengan informasi dan waktu yang terbatas.

Para finalis kemudian akan memiliki 4 hari untuk mendalami permasalahan di TMI dan merumuskan solusi beserta rencana implementasinya. Pada hari Sabtu, 26 Januari 2008 di Kampus ITB, Dewan Juri yang terdiri atas Bapak Dr. Ir. Drajad Irianto, M.Eng (Ketua Dewan Juri, Dosen TI ITB), Ibu Dr. Ir. Docki Saraswati, M.Eng (Dekan Fakultas Teknologi Industri Univ. Trisakti), Bapak Ir. Denni Andri (CEO TMI), Bapak Dedi Mulyadi, M.Si (Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, Dept. Perindustrian), Ibu Ir. Yani Panigoro, MM (Komisaris Utama Sarana Jabar Ventura) akan menilai proses dan hasil kerja finalis selama 4 hari di bawah bimbingan langsung pihak TMI.

Keluarga Mahasiswa Teknik Industri ITB berharap kompetisi ini tidak hanya menjadi ajang perebutan prestise dan benchmarking di antara para peserta, tetapi juga bisa menjadi ajang silaturahmi mahasiswa TI yang memberikan wawasan lebih mengenai berbagai corak pendidikan teknik industri di Indonesia. Dalam acara ini peserta juga diajak berbagi mengenai keilmuan TI dan kegiatan mahasiswa di kampus masing-masing. Dengan acara yang dikemas penuh keramahan dan keakraban, diharapkan network yang terbangun setelah IECOM ini bisa menjadi wadah kerjasama yang nyata di masa depan.

Labels: , , ,

Sunday, December 23, 2007

Kidzania: Menyediakan Sponsor untuk Pendidikan Anak atau Menyediakan Anak untuk dididik Sponsor?

Dibukanya Kidzania di Pacific Place
Dua puluh empat November yang lalu, hadir sebuah alternatif hiburan bagi anak-anak metropolis di Pacific Place, SCBD Jakarta. Kidzania, yang diklaim merupakan sebuah arena belajar interaktif bagi anak, memberikan kesempatan kepada semua anak-anak, mulai 1 hingga 13 tahun untuk menikmatinya. Tentu saja kesempatan ini masih terbatas. Terbatas pada anak-anak yang sanggup mengeluarkan 150 ribu rupiah pada akhir pekannya untuk bermain bersama teman-teman sebaya. Sambil menunggu anak-anaknya menikmati permainan interaktif yang disajikan dengan sangat prima, para orangtua dapat berbelanja atau sekedar menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan mewah yang terletak di sentra bisnis Jakarta ini.

Tentang Kidzania
Ide untuk mendirikan Kidzania pertama kali dimunculkan oleh Xavier López Ancona, seorang entrepreneur Meksiko. Pada tahun 1999 Kidzania pertama dibuka di Santa Fe Mall, Mexico City. Mendapatkan respon yang positif dari target pasarnya, Kidzania kedua dan ketiga dibuka di Monterrey, Mexico dan di Tokyo, Jepang.

Sebagai kota metropolitan yang dinilai penuh potensi bisnis, termasuk bisnis hiburan anak, Jakarta dipilih menjadi kota keempat di dunia yang memiliki Kidzania. Sesuai dengan segmen pasarnya, sebuah pusat perbelanjaan mewah baru, Pacific Place yang terletak di SCBD Sudirman, dipilih sebagai lokasi berdirinya Kidzania Jakarta.

Di pusat konsumsi mewah ini Kidzania menawarkan sebuah konsep tempat bermain anak yang baru. Setelah mengantri panjang untuk membeli tiket, di sini anak-anak bebas bermain peran sebagai orang dewasa. Diklaim ada 100+ jenis profesi yang dapat diperankan oleh anak di Kidzania. Mereka bebas untuk memilih peran yang mereka inginkan, dan setiap peran memiliki tanggungjawab masing-masing.

Sebagai contoh, seorang anak bisa berperan sebagai seorang insinyur atau pekerja konstruksi. Dalam perannya sebagai pekerja konstruksi , anak melakukan simulasi kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan oleh pekerja konstruksi sesungguhnya. Tentu, karena memang Kidzania bermaksud untuk memberikan pengalaman kepada anak untuk berperan sebagai orang dewasa, setiap profesi memberikan imbalan yang dapat digunakan untuk konsumsi.

Di tempat yang sama si anak dapat membelanjakan hasil kerjanya untuk berbelanja. Dalam kota miniatur yang sama juga terdapat berbagai macam toko dan pusat perbelanjaan yang memberikan kesempatan anak selain untuk bekerja di tempat-tempat tersebut, juga untuk membelanjakan uangnya. Kidzania memiliki mata uang sendiri yang disebut Kidzos untuk mendidik anak tentang bagaimana ekonomi bekerja.

Tentang Pacific Place
Pacific Place adalah sebuah pusat perbelanjaan eksklusif yang berlokasi di Seattle, Amerika Serikat. Melebihi kecanggihan pendahulunya, Pacific Place di Jakarta mengombinasikan hunian mewah Pacific Place serviced apartment, perkantoran modern One Pacific Place, hotel berbintang lima Ritz-Carlton, dan Pacific Place Mall. Terletak di pusat kawasan niaga Sudirman, Pacific Place merupakan satu landmark tersendiri bagi Jakarta sebagai pusat bisnis dan lifestyle.

Apa yang terjadi di dalam Kidzania?
Berperan dalam sebuah miniatur ekonomi perkotaan, anak-anak dapat memilih ratusan profesi yang tersedia di kota Kidzania. Beberapa di antaranya adalah pemadam kebakaran, pengecat rumah, dokter, perawat, dokter bedah, paramedis, dokter gigi, pekerja konstruksi, insinyur, pilot, pramugari, wartawan koran, penata rambut, pengecat kuku, kasir atau koki resotoran, penjaga SPBU, dan banyak lagi.

Setiap profesi menghasilkan Kidzos yang dapat mereka konsumsi langsung di Kidzania Department Store, Supermarket, atau mereka simpan di bank untuk digunakan apabila mereka kembali ke Kidzania. Anak-anak juga mendapatkan bunga dari Kidzos yang mereka simpan di bank.

Anak-anak juga belajar bahwa untuk menyewa mobil, mendapatkan sim, berlatih mengemudi, atau mencetak foto, misalnya, membutuhkan uang yang harus didapatkan dengan bekerja. Apabila ada pelanggaran hukum yang terjadi di Kidzania, ada pengadilan yang menyelesaikan permasalahan secara hukum. Hukum di dalam Kidzania merupakan hukum khusus yang dibuat untuk anak-anak berdasarkan konsep yang diyakini Kidzania.

Kerjasama Kidzania dengan Sponsor
Untuk menyediakan wahana bermain ini, Kidzania bekerjasama banyak sponsor. Para sponsor diberikan kesempatan untuk langsung berinteraksi dengan alam bawah sadar anak ketika mereka asyik bermain sambil belajar. Anak yang memilih peran sebagai pilot atau pramugari, misalnya, akan bekerja bagi Air Asia. Apabila anak-anak membutuhkan kendaraan, maka Honda akan menyediakan bagi mereka melalui dealer dan rental mobilnya.





(pictures courtesy of ayenm.com)
Entah ada sebuah cara tertentu atau tidak yang dilakukan oleh Kidzania untuk memberikan informasi yang lengkap kepada anak mengenai keberadaan sponsor ini, di kota Kidzania, anak akan merasakan betul bahwa setiap profesi berkaitan erat dengan sebuah nama produsen. Tentunya ini adalah sebuah keadaan yang menguntungkan bagi sponsor, karena ratusan anak yang membayar mahal untuk masuk ke Kidzania siap untuk diekspose ke berbagai company image sesuai keinginan sponsor.

Keberadaan sponsor di dalam kota Kidzania tentunya membuat keadaan kota dan simulasi setiap profesi semakin realistis. Proses pengisian botol air minum sangat menggambarkan proses pengisian yang dilakukan oleh Aqua. Proses pembuatan coklat adalah sebagaimana dilakukan oleh Silver Queen. Belum diketahui apakah Metro, Sogo, atau Debenhams yang akan mendapatkan kesempatan untuk mengajari anak bagaimana sebuah department store bekerja.

Sebuah Cara Baru
Konsep Kidzania adalah sebuah cara baru dalam menanamkan brand image kepada anak-anak. Kidzania meyakini bahwa anak-anak dapat melihat, mendengar, menyentuh, mengecap, mencium dan bahkan membawa pulang kesan yang mendalam akan merek, sehingga tercipta kesadaran, hubungan emosional yang erat, serta kesetiaan merek.

Selain menjual ide revolusioner ini kepada para sponsor, Kidzania juga mengklaim dirinya sebagai tempat yang aman, interaktif dan memiliki unsur pendidikan yang tinggi. Tentunya bagi orangtua yang peduli pendidikan anak, perlu ditelaah lebih jauh pendidikan apa saja yang diberikan kepada anak-anak ketika bermain di dalamnya. Apakah Kidzania menyediakan sponsor untuk pendidikan anak anda atau malah menyediakan anak-anak anda untuk dididik sponsor?


Reference:
http://www.pacificplaceseattle.com/art/11595_eprint.pdf
http://www.kidzania.co.id/ver2/index.php?artid=70&catid=30&mnid=113
http://www.kidzania.co.id/ver2/index.php?catid=33&artid=150&mnid=194&menu=195

Labels: , , ,

My Facebook Badge

this is Bin's profile

Labels:

Monday, May 28, 2007

Where do we go from here

Pemikiran ini setidaknya muncul kembali sejak email yang saya terima dari Ibu beberapa hari yang lalu. Lama sebelumnya pemikiran tentang kemana saya akan pergi setelah lulus kuliah memang menemani (kalau tidak menghantui) banyak waktu luang.

Apabila diulang kembali, kurang lebih pertanyaan itu seperti ini:
Industri apa yang pantas dimasuki sebagai pijakan untuk mulai berkarya nanti?

Atau sebenarnya ada pertanyaan yang lebih mendasar yang berbunyi seperti ini:
Mau jadi apa habis lulus, bung?

Tapi sebenarnya ada pertanyaan yang lebih baik lagi untuk ditanyakan:
Mulai berkarya? Setelah lulus? Kenapa nanti? Memang harus lulus dulu baru mulai berkarya? Tidak.

Dan (using the power of AND, not the tyranny of OR), saya juga punya kesadaran untuk memenuhi harapan orangtua untuk 'berkarya' sebaik-baiknya di bangku kuliah. Karya yang ditunggu itu berwujud angka. IPK tepatnya. Saya masih yakin ini lah parameter paling valid yang digunakan mereka untuk mengetahui apakah saya berbuat yang terbaik di kampus. Di Bandung, dengan biaya besar yang mereka kucurkan setiap waktunya. Tapi sudahlah, pembahasan lebih lanjut tentang itu akan bertransformasi menjadi sebuah excuse yang terlalu kuat untuk memiliki satu fokus saja selama di bangku kuliah. Akademik. Saya tidak pro hal ini. Cenderung kontra.

Jadi kita mulai saja bahasan yang aktualnya.

Pertanyaan pertama tadi mulai mendapat arah jawabannya. Email itu berasal dari sebuah sumber di Amerika Serikat, yang menceritakan kepada Ibu bahwa baru saja Konsulat Jenderal RI di Houston, TX mengundang para engineer dan calon engineer di bidang Petroleum dan Energi untuk berkumpul. Undangan itu mendadak. Topik yang mereka bicarakan, dilaporkan, mengenai kebutuhan negeri ini akan tenaga ahli di bidang energi dan perminyakan. Diperkirakan dalam tahun-tahun ke depan Indonesia melalui BP Migas nya akan melakukan 'sesuatu' yang besar dengan industri ini. Dan sekarang tenaga ahli yang dibutuhkan masih sangat minim jumlahnya.

Jadi inilah industri yang penting untuk kita masuki sebagai profesional? Bukankah industri energi sedang bergerak ke arah sumber lain yang renewable, energi alternatif?

Mengapa kita masih tertarik dengan industri yang sedang ditinggalkan ini?

Saya pernah berbincang dengan Bapak beberapa waktu lalu mengenai industri ini. Waktu itu saya menanyakan mengapa Indonesia tidak bisa menangani semua eksplorasi hasil perut buminya sendiri. Bukankah engineer seperti Bapak ini sudah banyak jumlahnya di Indonesia? Dari perbincangan yang sempat bercabang kemana-mana itu saya masih ingat beberapa poin yang berkaitan langsung dengan pertanyaan saya tadi.

Upaya eksplorasi hasil perut bumi memang tidak sesederhana lulus dari TM-ITB, punya uang, lalu bikin perusahaan minyak yang bisa tender supply peralatan dan perlengkapan pendukungnya (setelah menemukan lokasi yang potensial untuk di-eksplore). Untuk menemukan titik-titik yang potensial, perlu knowledge dan experience, selain pastinya science. Selain itu, se-advance apapun experience dan accumulated knowledge yang dimiliki perusahaan rakasasa minyak itu, ternyata, tidak setiap titik yang ditunjuk oleh para ahli itu berubah wujud menjadi sebuah sumur minyak yang produktif. Kalau diprediksi bisa produksi seratus juta barrel per hari selama 25 tahun, misalnya, bisa saja ternyata produksi nya drop menjadi 5 juta barrel pada tahun kedua, dan berhenti pada tahun kelima. Dan hal ini sudah biasa terjadi di dunia eksplorasi.

Padahal, investasi yang dikucurkan untuk melakukan penelitian dan pemilihan titik-titik itu saja baru bisa break-even setelah rate produksi 100 juta barrel per hari itu berjalan selama 5 tahun, misalnya. Ini semua angka yang disederhanakan, tentunya. Tetapi ini cukup menggambarkan mengapa mereka menyebut ini bisnis yang high-tech, high-cost, dan high-risk--memang high-gain juga.

Untuk memperbesar kemungkinan mendapatkan sumur yang produktif, para raksasa minyak itu biasanya mengambil beberapa titik sekaligus yang diyakini oleh tim ahli memiliki potensi. Dari titik-titik itu, mereka berharap ada satu-dua atau bahkan tiga yang menjadi produktif dan menghasilkan keuntungan. Memang ini industri yang padat modal, teknologi, dan resiko.

Teknologi nya sendiri juga padat resiko. Dari kuliah PO saya ingat, teknologi juga menentukan-- bahkan dominan--dalam menentukan perancangan organisasi. Dan untuk mengendalikan resiko ini diperlukan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh perusahaan raksasa itu selama puluhan tahun. Organisasi yang mereka kembangkan telah mencapai sebuah level kehati-hatian dan disiplin sangat tinggi, tentunya ini hanya dapat tercapai dengan manajemen yang matang,
secara struktur maupun secara substansi.

Salah satu akibat ketidakmatangan organisasi dalam menjalankan operasi di industri padat modal, teknologi, dan resiko ini terdapat di depan mata kita setiap hari; Lumpur Lapindo. Kasus ini jelas diakibatkan ketidakmatangan organisasi dalam mengelola operasi dan resiko-resiko operasionalnya, selain juga menggambarkan kurangnya pengalaman para pimpinannya dalam mengelola keseluruhan teknologi, modal, dan sumberdaya insaninya. Industri ini ternyata juga padat-komitmen ya, terbukti.

Kalau kita boleh menyimpulkan secara buru-buru, masih banyak yang perlu dibenahi untuk dapat menguasai indutri energi di bumi sendiri ini. Dan hal inilah yang sangat mungkin kita lakukan. Berbenah di banyak hal. Tentu saja dengan komitmen pemerintah dan rakyat yang lebih tinggi untuk mengembangkan segala hal yang dibutuhkan untuk menguasai industri energi ini. Terutama dalam pengembangan sumberdaya insani nya.

Jadi apabila kita memilih indutri ini sebagai satu pijakan untuk berkarya, tentu merupakan suatu keputusan yang bagus. Kita menjadi bagian dari sebuah gerakan nasionalisasi industri energi negeri ini. Lalu bagaimana dengan gerakan meninggalkan industri ini ke arah energi alternatif? Renewable energy?

Some wild thoughts have crossed my mind.

Energy alternatif, dalam skala besar, memang memasuki pasar. Lalu apakah dengan demikian hal ini akan membuat para raksasa ini mati seketika? Tentu tidak. Bisnis sudah berkembang begitu lama, dan para pemain kawakan pasti sudah punya rencana. Bisnis ini tidak akan mati seketika. Sangat mungkin, sekali lagi saya bilang ini pemikiran liar saja, pemain di industri energi ini akan tetap bermain di industri energi, mengingat inersia modal dan teknologi yang sangat besar yang mereka miliki. Yang mungkin mereka lakukan adalah memodifikasi bisnis mereka perlahan-lahan, sehingga menjadi bisnis energi yang sepenuhnya baru pada waktunya nanti.

Energi alternatif perlu modal (dan teknologi) riset dan pengembangan yang luar biasa besarnya, dan itu belum termasuk biaya pemasarannya. Para raksasa minyak dan gas alam ini memiliki semuanya. Dengan kata lain, apabila mereka mau, merekalah yang mampu. Mereka lah yang bisa mengubah industri energi ini dari petro-based menjadi bio-based, misalnya.
Tapi pertanyaanya sekarang, apakah benar mereka punya kemauan itu?

Kemauan untuk berubah itu kita yang punya. Dan mungkin sekali kita lah yang akan memimpinnya kelak (atau sekarang). Jadi, mau terjun ke industri energi dan membawanya ke arah yang lebih baik?

Labels: ,

Sunday, November 27, 2005

Di Sinilah Hidup Dimulai

...tidak ada pilihan yang salah. Yang salah adalah ketika tidak memilih dengan sungguh-sungguh. Lebih parah lagi ketika tidak tahu mengapa memilih. Atau malah tak tahu apa yang dipilih.
Seorang anak manusia dihadapkan pada pilihan. Banyak pilihan. Ia bingung. Ternyata itu wajar. Manusia menjadi manusia ketika ia berpikir. Berpikir, kalau memang dilakukan dengan serius, punya efek yang sangat besar. Kata orang, kita hanya menggunakan secuil dari kemampuan otak manusia sesungguhnya --sekalipun mahasiswa teknik ITB yang dihadapkan pada praktikum, tugas besar, dan UAS pada satu minggu sekaligus.
Ketika berpikir keras --dan itu pun menurut ahli hanya memakai sedikit potensi yang ada pada otak manusia, orang akan gelisah. Kenapa: karena pada saat berpikir, ia menimbang. Ketika menimbang, ia membayangkan. Apa yang dibayangkan: masa depan --apa yang terjadi jika ini, itu, dst. Memikirkan masa depan, membuat orang gelisah; tak satu pun orang yang hidup di masa ini tahu apa yang akan terjadi satu menit ke depan.
Dan manusia ingin terus merasa nyaman. Maka ia gelisah.
Sebetulnya kenapa orang ingin merasa nyaman? Saya bilang, karena persepsi. Mengapa mahasiswa ITB merasa nyaman sewaktu melihat pengumuman SPMB? Persepsinya tentang ITB menenangkannya, membisikkan bahwa ia akan baik2 saja dalam beberapa tahun ke depan. Lalu kenapa seorang yang lain merasa gelisah sewaktu mengetahui bahwa ia diterima di ITB? Mungkin persepsinya tentang ITB lain; ia lebih suka kedokteran, tetapi orangtuanya lebih suka ITB, dan ITB tidak menyediakan jurusan kedokteran. Persepsinya, ITB tidak akan menyediakan apa yang ia cari.
--end of intro--
Pilihan benar-salah, adalah sesuatu yang basic. Secara naluri orang akan membuat pilihan itu, walaupun tentu bisa berbeda untuk orang yang berbeda. Mengikuti jalannya waktu, sebuah pilihan akan berlabuh pada pilihan berikutnya. Setelah pilihan itu dilalui dengan berbagai konsekuensinya, muncul pilihan lain. Lalu pilihan yang lain lagi. Lalu yang lain lagi. Membentuk sebuah spiderweb raksasa. Setiap pilihan menentukan apa yang akan terjadi selanjutnya, dan apa yang harus dipilih kemudian.
Menurutku, inilah masterplan qada dan qadar alias takdir itu.
Dan setelah sekian pilihan terlewati, ia tidak lagi muncul dalam bentuk benar-salah. Sekali-kali ia berwujud benar-benar. Lalu 'benar' yang mana yang dipilih? Lagi-lagi persepsi berperan besar. Persepsi seorang mahasiswa yang hidup di era nirkabel tentu berbeda dengan persepsi seorang ibu yang --walaupun sekarang mahir memakai PDA-- dibesarkan di era orde baru. Kontak batin yang kuat antara ibu dan anak, yang sudah terjalin sejak sang ibu melahirkannya, ternyata ada pengaruhnya pada persepsi si anak. Ketika seorang mahasiswa membuat pilihan, persepsi yang dimilikinya tidak hanya tumbuh dan disuburkan dengan berbagai informasi yang diterimanya dari lingkungan, tetapi juga diwariskan melalui ikatan batin yang tumbuh dengan orangtuanya.
Kerja untuk mulai memahami hidup sambil kuliah; beliau bilang 'kuliah saja lah yang baik, itu urusan kami'
Mengikuti idealisme dan ikut memimpin gerakan mahasiswa; beliau keluar materi dan tenaga banyak untuk kuliah ku ini, aku harus all-out.
Maka ketika pilihan itu datang, dan multi-persepsi menjadi wadahnya, bagi seorang mahasiswa, di situlah hidup ini dimulai.

Saturday, April 23, 2005

No Sensitivity

I've got my car we could go and sit a while
I know it won't turn over but we'll get somewhere just the same
I'm through talking (it's the strangest thing, I feel safe when I'm lonely)
Don't take too much you'll get burned if it's all at one time
Take it easy don't you get it? it's just an expression
Would you raise your voice every time a little dirt gets under?
Cry if you want (it's the return of no sensitivity)
You don't have to scream to say something that you honestly mean

The world won't turn without you and I am amazed you're standing still
Your problems, they aren't problems be glad they never will
I'm taking my kisses back I want my kisses back from you

When you hear those footsteps calling
It's O.K. if you don't answer isn't it obvious? I thought it was obvious.


--it's something came thru as a result of a lack of creativity on a saturday morning..--

Thursday, March 24, 2005

Rumah Manis Rumah

Ketika rumahmu jadi sesuatu yang sangat jauh, saat itulah si rumah jadi sesuatu yang sangat berharga. Di saat semua hal yang ada di kepalamu ngga punya jawaban, mungkin rumah punya jawaban; mungkin bukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu, tapi semua itu seakan hilang untuk sementara (seenggaknya sebentar). Waktu sampai di rumah, sebetulnya ngga ada hal khusus yang jadi obat tidur atau penenang, misalnya. Tapi jauh sebelumnya, waktu tol Padaleunyi masih harus ditempuh plus jalan Purwakarta yang penuh truk itu ada di depan mata, rumah jadi seperti layaknya obat gatel yang udah lama dicari dan ngga ketemu-ketemu.
Pernah kepikiran, kenapa dulu teman-teman yang duluan merantau ke kota tetangga segitunya soal balik ke rumah. Bukannya keluar rumah dan tinggal sendiri itu sesuatu yang udah lama banget dicita-citakan? Makanya sampai ikut dua bimbel sekaligus supaya keterima di perguruan tinggi yang di luar kota? Bukannya dulu kemandirian yang dikejar? Bukannya rumah beserta orangtua dan keluarga kita yang tinggal di sana jadi lambang ketidakmapanan dan jauh dari kemandirian? Kenapa sekarang kita jadi mencari itu semua lagi? Kenapa kita jadi ngga ragu lagi untuk bilang 'gw kangen nyokap nih..'? Kenapa kita cerita tentang wejangan bapak kita yang lama ngga kedengeran karena kita jauh dari dia?
Mahasiswa berpikir siapa dirinya. Dan ia tidak menemukan itu di kampus. Tidak di himpunan. Ia menemukan itu di rumahnya. Dan membawa-bawa itu ke mana pun ia pergi. Dan ia dengan bangga bilang, orangtua saya tinggal di Jakarta. Saya kuliah di Bandung. Saya akan pulang dengan nilai bagus dan cerita-cerita kegiatan kemahasiswaannya yang membuat bangga orangtua dan adik-adiknya. Dia mahasiswa perantau Jakarta yang sebenarnya.
Rumah Manis Rumah? Sekaranglah waktunya sadar. Kenapa lari dari rumah?