Thursday, March 24, 2005

Rumah Manis Rumah

Ketika rumahmu jadi sesuatu yang sangat jauh, saat itulah si rumah jadi sesuatu yang sangat berharga. Di saat semua hal yang ada di kepalamu ngga punya jawaban, mungkin rumah punya jawaban; mungkin bukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu, tapi semua itu seakan hilang untuk sementara (seenggaknya sebentar). Waktu sampai di rumah, sebetulnya ngga ada hal khusus yang jadi obat tidur atau penenang, misalnya. Tapi jauh sebelumnya, waktu tol Padaleunyi masih harus ditempuh plus jalan Purwakarta yang penuh truk itu ada di depan mata, rumah jadi seperti layaknya obat gatel yang udah lama dicari dan ngga ketemu-ketemu.
Pernah kepikiran, kenapa dulu teman-teman yang duluan merantau ke kota tetangga segitunya soal balik ke rumah. Bukannya keluar rumah dan tinggal sendiri itu sesuatu yang udah lama banget dicita-citakan? Makanya sampai ikut dua bimbel sekaligus supaya keterima di perguruan tinggi yang di luar kota? Bukannya dulu kemandirian yang dikejar? Bukannya rumah beserta orangtua dan keluarga kita yang tinggal di sana jadi lambang ketidakmapanan dan jauh dari kemandirian? Kenapa sekarang kita jadi mencari itu semua lagi? Kenapa kita jadi ngga ragu lagi untuk bilang 'gw kangen nyokap nih..'? Kenapa kita cerita tentang wejangan bapak kita yang lama ngga kedengeran karena kita jauh dari dia?
Mahasiswa berpikir siapa dirinya. Dan ia tidak menemukan itu di kampus. Tidak di himpunan. Ia menemukan itu di rumahnya. Dan membawa-bawa itu ke mana pun ia pergi. Dan ia dengan bangga bilang, orangtua saya tinggal di Jakarta. Saya kuliah di Bandung. Saya akan pulang dengan nilai bagus dan cerita-cerita kegiatan kemahasiswaannya yang membuat bangga orangtua dan adik-adiknya. Dia mahasiswa perantau Jakarta yang sebenarnya.
Rumah Manis Rumah? Sekaranglah waktunya sadar. Kenapa lari dari rumah?