Sunday, November 27, 2005

Di Sinilah Hidup Dimulai

...tidak ada pilihan yang salah. Yang salah adalah ketika tidak memilih dengan sungguh-sungguh. Lebih parah lagi ketika tidak tahu mengapa memilih. Atau malah tak tahu apa yang dipilih.
Seorang anak manusia dihadapkan pada pilihan. Banyak pilihan. Ia bingung. Ternyata itu wajar. Manusia menjadi manusia ketika ia berpikir. Berpikir, kalau memang dilakukan dengan serius, punya efek yang sangat besar. Kata orang, kita hanya menggunakan secuil dari kemampuan otak manusia sesungguhnya --sekalipun mahasiswa teknik ITB yang dihadapkan pada praktikum, tugas besar, dan UAS pada satu minggu sekaligus.
Ketika berpikir keras --dan itu pun menurut ahli hanya memakai sedikit potensi yang ada pada otak manusia, orang akan gelisah. Kenapa: karena pada saat berpikir, ia menimbang. Ketika menimbang, ia membayangkan. Apa yang dibayangkan: masa depan --apa yang terjadi jika ini, itu, dst. Memikirkan masa depan, membuat orang gelisah; tak satu pun orang yang hidup di masa ini tahu apa yang akan terjadi satu menit ke depan.
Dan manusia ingin terus merasa nyaman. Maka ia gelisah.
Sebetulnya kenapa orang ingin merasa nyaman? Saya bilang, karena persepsi. Mengapa mahasiswa ITB merasa nyaman sewaktu melihat pengumuman SPMB? Persepsinya tentang ITB menenangkannya, membisikkan bahwa ia akan baik2 saja dalam beberapa tahun ke depan. Lalu kenapa seorang yang lain merasa gelisah sewaktu mengetahui bahwa ia diterima di ITB? Mungkin persepsinya tentang ITB lain; ia lebih suka kedokteran, tetapi orangtuanya lebih suka ITB, dan ITB tidak menyediakan jurusan kedokteran. Persepsinya, ITB tidak akan menyediakan apa yang ia cari.
--end of intro--
Pilihan benar-salah, adalah sesuatu yang basic. Secara naluri orang akan membuat pilihan itu, walaupun tentu bisa berbeda untuk orang yang berbeda. Mengikuti jalannya waktu, sebuah pilihan akan berlabuh pada pilihan berikutnya. Setelah pilihan itu dilalui dengan berbagai konsekuensinya, muncul pilihan lain. Lalu pilihan yang lain lagi. Lalu yang lain lagi. Membentuk sebuah spiderweb raksasa. Setiap pilihan menentukan apa yang akan terjadi selanjutnya, dan apa yang harus dipilih kemudian.
Menurutku, inilah masterplan qada dan qadar alias takdir itu.
Dan setelah sekian pilihan terlewati, ia tidak lagi muncul dalam bentuk benar-salah. Sekali-kali ia berwujud benar-benar. Lalu 'benar' yang mana yang dipilih? Lagi-lagi persepsi berperan besar. Persepsi seorang mahasiswa yang hidup di era nirkabel tentu berbeda dengan persepsi seorang ibu yang --walaupun sekarang mahir memakai PDA-- dibesarkan di era orde baru. Kontak batin yang kuat antara ibu dan anak, yang sudah terjalin sejak sang ibu melahirkannya, ternyata ada pengaruhnya pada persepsi si anak. Ketika seorang mahasiswa membuat pilihan, persepsi yang dimilikinya tidak hanya tumbuh dan disuburkan dengan berbagai informasi yang diterimanya dari lingkungan, tetapi juga diwariskan melalui ikatan batin yang tumbuh dengan orangtuanya.
Kerja untuk mulai memahami hidup sambil kuliah; beliau bilang 'kuliah saja lah yang baik, itu urusan kami'
Mengikuti idealisme dan ikut memimpin gerakan mahasiswa; beliau keluar materi dan tenaga banyak untuk kuliah ku ini, aku harus all-out.
Maka ketika pilihan itu datang, dan multi-persepsi menjadi wadahnya, bagi seorang mahasiswa, di situlah hidup ini dimulai.